MENU KITA
MESIR
BUKU TAMU
TADZKIROH
JADWAL SHALAT
|
Saturday, October
07, 2006 Abu abdullah mengatakan : Tidak ada hadits nabi
yang paling banyak mengandung faidah kecuali hadits ini.
Melalui hadits ini Rasulullah saw. menjelaskan pada kita
akan pentingnya -sebuah niat- dalam beribadah pada Allah.
Makanya tidak heran kalau imam Bukhari meletakan hadits ini
dalam kitab shahih bukhari pada jilid pertama dan pada nomor
urutan pertama. Niat inilah yang sangat penting untuk senantiasa kita perhatikan setiap kita akan melakukan amalan. Karena hanya dengan niat kita akan mengetahui apakah kita melakukan amalan itu untuk mencari keridhaan Allah ataukah hanya untuk mendapatkan popularitas atau pujian dari manusia??
Seseorang
yang "dulu" sangat berarti bagi saya, pernah menasehati..."Niatkanlah
segala sesuatu itu karena Allah, karena kalau kita berniat
bukan karenaNya maka kecewalah yang akan kita
dapat".
Tuesday, August 15,
2006 Renaissance yang dahulu diusung, telah berimplikasi pada cara berpikir muslimin saat ini, mereka menganggap bahwa negara mesti dipisahkan dari intervensi agama Islam. Sehingga agama kali ini direduksi sampai ke gerak personal semata (Hablun minallaah), sedangkan tataran social, ekonomi dan politik (Hablun minannaas) agama disingkirkan. Karenanya, stigma di atas sangat cocok pada masa sekarang ini. Ajakan kembali kepada agama ini, bukan berarti menganggap muslimin telah murtad dari agamanya, akan tetapi suatu seruan agar muslimin kembali mengkaji dan mengamalkan ajaran agamanya. Pastinya, dengan ikhlas karena Allah Swt. dan benar sesuai dengan contoh Rasulullah Saw. Namun, yang menjadi pertanyaan kali ini, dalam bentuk apakah mengajak umat kembali pada agama? Pendidikan Islam (tarbiyah islamiyyah) merupakan elemen dasar dalam membangun paradigma arus pemikiran Islam, yang selanjutnya pemikiran ini dapat berimplikasi pada munculnya peradaban Islam. Terlalu dini memang saya membicarakan tentang peradaban Islam, karena konspirasi musuh Islam saat ini telah membangun paradigma buruk pada kesucian agama Islam, yang menyebabkan umat Islam sendiri tidak tahu bahkan takut dengan agamanya sendiri. Tapi, bukan berarti hal ini tidak mungkin untuk terwujud. Saya yakin terwujud jika tadarruj fil 'amal atau gradual dalam bertindak diutamakan. Sebab itu saya berpendapat, pendidikan merupakan sarana awal dalam mencapai citi-cita tersebut. Dari berbagai informasi yang kita terima, pendidikan di Indonesia mengalami permasalahan yang sangat akut. Dari mutu pendidikan yang rendah, sehingga membuat Indonesia berada di peringkat ke-11 dari 12 negara Asia, angka putus sekolah mencapai 80% untuk tingkat SMA, buta huruf 9%, dan produksi buku hanya mencapai 2000 buah dalam setiap tahunnya (dibandingkan Malaysia yang dapat memproduksi 15.000 buah/tahun). Akhirnya, relevansi dari pendidikan menghasilkan pengangguran absolut sebanyak 9%, apalagi dalam hal degradasi moral yang semakin carut-marut. Visi dan Misi pendidikan di Indonesia yang tercantum dalam UUD No. 20/2003 menyatakan "Terwujudnya sistem pendidikan yang menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah", ini baru terpikirkan akhir-akhir ini. Padahal, Islam sudah jauh-jauh hari memiliki Visi dan Misi pendidikan, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:"Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya" (QS. At Taubah: 122) Artinya, pendidikan Islam hendak menghasilkan manusia yang dapat memberi peringatan berupa jawaban, ketika zaman sudah melenceng dari rel syari'at (baca: Al Qur'an dan As Sunnah), agar umat manusia dapat mejnaga dirinya sendiri. Di tulisan ini saya akan membahas peran pesantren bagi santri itu sendiri, tidak akan membahas efeknya bagi masyarakat. Sebab semua pasti yakin bahwa efek pesantren bagi masyarakat sangatlah kuat dalam segi keagamaan, sehingga masyarakat memiliki asumsi pribadi terhadap pesantren dan pada santri. Misalkan; masyarakat mempunyai asumsi bahwa santri pesantren mesti bisa membaca Al Qur'an sesuai tajwidnya, bisa baca arab gundul, mahir berceramah, dll. Apalagi jika memperhatikan pemaparan Drs. Affandi Mochtar, MA. di Cairo pada akhir tahun 2005, beliau mengatakan bahwa "Historis pemikiran Islam dimulai dari Pesantren". Jadi, pesantren bisa disebut gagal jika sudah mandul mereproduksi para intelektual yang agamis. Baik, saya tidak akan berpanjang-panjang kalam, akan langsung pada pembahasan yang ingin saya usung sebagai bahan diskusi. Saya akan mengajukan beberapa usulan seputar pesantren Persatuan Islam No. 76 secara ringkas saja. Yang perlu diperhatikan: Peran pesantren bagi santrinya, layaknya surya mentari bagi benih-benih yang sudah disirami, nantinya dia tumbuh dan berbuah indah, segar serta cukup mendatangkan selera. Setidaknya, buah itu bisa menenangkan hati orang yang memandang, apalagi bisa sampai mengenyangkannya jika dimakan. Setelah sedikit saya memperhatikan pesantren kita ini, maka saya di sini ingin membahas efek yang diberikan pesantren kepada para santrinya, dan ingin sedikitnya berbakti dengan memberikan kasih sayang. 1. Status disamakan? Menurut Drs. Mundzir Suparta, MA. prosentase jumlah Madrasah swasta (Selanjutnya ditulis MS) di tanah air lebih dominan dibandingkan dengan Madrasah negri (Selanjutnya ditulis MN). Perbedaannya mencapai 91,8% jumlah Madrasah swasta dan 8.2% madrasah negri. Dan lagi -lanjut beliau- dengan diterapkannya metode KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) ingin menghapus dikhotomi antara Swasta dan negri. Ini dapat kita lihat dari suksesnya teman-teman MAK dalam memasuki PTN. Setelah sedikit memperhatikan dan mengecap kurikulum MN, saya pikir MS malah bergerak mundur ke belakang jika statusnya disamakan dengan MN. Sebab kualitas kurikulum agama MN yang jauh di bawah MS, mesti dimasukan ke kurikulum MS. Saya berpendapat, semestinya MS tidak pelu mengejar penyamaan status dengan MN, tapi lebih menekankan pada mu'adalah dan memudahkan santrinya melanjutkan ke universitas-universitas luar negri.
2.
Kesamaran Ilmu Lagi-lagi, saya berpendapat MS lebih baik tidak mengikuti persamaan dengan MN, agar ilmu-ilmu santrinya tidak menggantung. Lebih lagi, jika MS mengadakan system "Sorogan" di luar jam sekolah bagi santrinya. Karena seperti saya katakan di awal, masyarakat (bahkan wali santri) mempunyai paradigma sendiri terhadap para santri, yaitu santri lebih mempelajari dan menguasai ilmu agama. Pandangan seperti ini tidaklah salah, karena memang santri MS bukanlah santri MN, apalagi sekolah umum.
3. Islamisasi ilmu umum Ketika saya bertanya kepada kawan-kawan se-almamater atau lain almamater, mengenai manusia kera yang dipelajari di pesantren. Kebanyakan mereka telah mempelajarinya, padahal ini sudah di rad oleh Harun Yahya dan bertentangan dengan agama Islam. Atau kita dulu telah mempelajari sirkulasi kejadian hujan, guru hanya menerangkan begitu saja tanpa menyebutkan bahwa sirkulasi ini adalah kehendak Allah Swt, bahkan tidak mengenalkan santri tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan itu (QS. 45:5,2:22,35:27 dll) Sehingga di benak santri tergambar bahwa sirkulasi kejadian hujan hanya sebatas proses alamiah saja, tanpa campurtangan Tuhan. Sayapun memperhatikan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) yang dipelajari di pesantren mengacu pada Depag, sehingga ketika dulu saya mempelajari tentang Khulafaurrrasyidin tergambar bahwa Utsman ra. adalah pemimpin yang lemah dan Nepotisme, dan Mu'awiyyah ra. adalah seorang penjahat pemerintahan, atau Aisyah ra. adalah penentang Ali ra. Padahal mereka adalah para sahabat Nabi yang mulia, yang jika kita menginfakkan emas seberat gunung Uhudpun tidak akan menyaingi amal mereka (Lihat di HR. Bukhari&Muslim). Pemahaman ini muncul karena buku SKI ini diambil dari Depag yang isinya sudah terinfiltrasi pemikiran-pemikiran para orientalis yang tidak objektif dalam memandang Islam. Kalaulah pesantren kita, mempelajari SKI dari buku-buku para ulama seperti "Ar Rahqul Makhtam (Syaikh. Al Mubarak Furi) atau Al'Awshim minal Qawshim (Syaikh. Al Qadli Abu Bakar Ibn Al 'Arabi) dll" maka akan Ashlah. Pembelajaran seperti ini bukan tidak mungkin, sebab para Asâtidz/dzah banyak yang bisa berbahasa Arab.
4. Optimalisasi Ekstra Kulikuler
5. Santri yang berakhlaq mulia Pesantren tidak perlu mengadakan halaqah-halaqah (seperti di pesantren Husnul Khatimah) yang diadakan para Asatidz/dzah bagi semua santri, karena melihat jumlah santri yang banyak dan para Asatidz/dzah terbatas. Solusi yang saya usung disini adalah, bagaimana agar para Asatidz/dzah menghidupkan hawa Tawashau bil haqqi wa tawashau bish shabri yang dilandasi cinta karena Allah. Jadi, jika ada santri yang bermasalah tidak lantas ditampar, ditendang, distrap, diintrogasi di BP atau bahkan di Drop Out. Dulu, muncul pertanyaan di benak saya ketika mendengar santri yang di DO gara-gara mencuri, apakah pesantren tidak bisa (atau tidak mau) mendidik santri-santri yang berbuat salah (mencuri) sehingga mereka mesti di DO? Padahal peran pesantren mesti memperbaiki akhlaq para santri-santrinya. Banyak saya mendengar dari kawan-kawan di asrama yang berkata "Si ustadz 'anu' teh bener, tapi carana salah?", jadi, kalaulah para Asatidz/dzah menasehati dengan cara pendekatan maka santri akan menerima nasihatnya. Ini mungkin sedikit bulir-bulir kasih sayang yang menyembul dari hati yang paling dalam, sebagai sedikit bakti bagi "rahim ilmu". Mohon tanggapannya dari ikhwati wa Akhawati fillah dan memberikan solusi praktis yang bisa diberikan untuk pesantren kita. Mumpung kita masih di Mesir jadi bisa enak mencurahkan pendapat, tapi kalu sudah di hadapan para Asatidz/dzah mungkin kita agak tergagap dan karena sebab-sebab lain yang tidak bisa saya sebutkan. In Uridu illal ishlh mastathatu.
|